LARANGAN BERBICARA TANPA ILMU
Diantara sebab-sebab seseorang seseorang jatuh kepada kedustaan adalah ketika ia BERBICARA TANPA ILMU. Yaitu, ketika perkataan (yang tanpa ilmu tersebut) MENYELISIHI REALITA. Ingatlah, bahwa hakekat dusta itu adalah APABILA PERKATAAN SESEORANG MENYELISIHI REALITA YANG ADA. Jika ia melakukan demikian, maka ia telah berdusta!
Allah Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu TIDAK MEMPUNYAI ILMU tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.
(QS. Al-Isra’ : 36)
Setelah menyebutkan pendapat para Salaf tentang ayat ini, imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata:
“Kesimpulan penjelasan yang mereka (para ulama) sebutkan adalah: bahwaAllah Ta’ala melarang berbicara tanpa ilmu, yaitu (berbicara) hanya dengan persangkaan yang merupakan perkiraan dan khayalan.”
Qatadah mengatakan:
“Jangan kamu katakan bahwa kamu melihat sementara kamu tidak melihat, mendengar sementara kamu tidak mendengar, mengetahui sementara kamu tidak mengetahui karena Allah akan bertanya kepadamu tentang itu semua.”
(Tafsir Al-Qur’anul Azhim, surat Al-Isra’:36)
Allah juga berfirman:
مَّا لَهُم بِهِ مِنْ عِلْمٍ وَلَا لِآبَائِهِمْ ۚ كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ ۚ إِن يَقُولُونَ إِلَّا كَذِبًا
Mereka sekali-kali TIDAK MEMPUNYAI ILMU tentang perkataan itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu), kecuali DUSTA.
(al Kahfi: 5)
Berkata Imam Ibnu Katsir rahimahullah:
“Mereka tidak memiliki pijakan sama sekali (atas perkataan mereka, tanpa ilmu dan tanpa bukti yang nyata, ed), kecuali hanya perkataan mereka semata…”
(Lihat Shahiih Tafsir Ibnu Katsir (edisi Indonesia, V/485)
Berkata Syaikh al ‘Utsaimin rahimahullah:
“Dusta artinya ucapan atau khabar yang berlawanan dengan kenyataan/fakta (Waqi’) sedangkan “Benar/Jujur” adalah berita atau khabar yang sesuai dengan fakta/kenyataan.
Jika ada orang yang berkata :“Orang itu telah datang hari ini”,padahal orang itu tidak datang maka ini disebut DUSTA, meskipun orang itu tidak sengaja mengatakannya.
[Jadi seseorang boleh saja disebut "telah BERDUSTA", WALAUPUN TIDAK BERMAKSUD dan TIDAK MENYENGAJA untuk BERDUSTA,pent].
Dalilnya adalah kisah Subay’ah al-Aslamiyyah radhiyallahu ‘anhaa, seorang shahabiyyah yang ditinggal mati oleh suaminya.
Setetalah beberapa waktu (semenjak kematian tersebut ,ed) dia melahirkan anaknya, kemudian dia menanggalkan pakaian lusuhnya dan memakai pakaian yang indah agar ada yang melamarnya.
Abu as-Sanaabil (ketika melihat perbuatannya tersebut, ed) berkata kepadanya:
“TIDAK BOLEH engkau menikah hingga berlalu waktu 4 bulan 10 hari (sebagai masa ‘iddah/penantian)”
Subay’ah ketika mendengar ucapan Abus Sanaabil itu langsung bergegas menemui Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam untuk menanyakan perihal tersebut.
Maka Rasulullah bersabda:
كَذَبَ أَبُو السَّنَابِلِ
“Abu Sanaabil telah BERKATA DUSTA…”
[HR. Ahmad no. 4273; Dishahihkan Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 69. Asal kisah ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim]
Syaikh ‘Utsaimin melanjutkan:
“Abus Sanaabil TIDAK BERNIAT BERDUSTA, dia hanya MENGIRA bahwa masa ‘iddah perempuan (setlah ditinggal mati oleh suaminya, ed) adalah yang paling lama diantara dua pilihan (yaitu 4 bulan 10 hari atau lebih dari itu hingga ia melahirkan).
(Abus Sanaabil berpandangan ,ed) jika wanita tersebut selama 4 bulan 10 hari belum melahirkan juga, maka tetap dia dalam ‘iddahnya hingga dia melahirkandan apabila dia melahirkan sebelum 4 bulan 10 hari, maka dia harus menyempurnakan bilangan tersebut.
Tapi (pendapat Abus Sanaabil) ini bertentangan dengan nash yang menjelaskan bahwa waktu ‘iddahnya wanita hamil adlah sampai dia melahirkan, walaupun belum genap 4 bulan 10 hari.
Intinya, Nabi mengatakan bahwa ABUS SANAABIL TELAH BERDUSTA (karena ia telah menyelisihi kebenaran/realita, ed), walaupun ia TIDAK BERNIAT berdusta.”
(Lihat Tafsir Qur-aan Surah al Kahfi karya Syaikh ‘Utsaimin; dinukil dari edisi Indonesia (pustaka as-sunnah) hlm. 27 cetakan kedua)
LARANGAN MENYAMPAIKAN SETIAP APA YANG KITA DENGAR
Juga sebab yang lain, adalah seseorang yang suka CEPLAS-CEPLOS. ia dengar tentang sesuatu, lantas ia mengabarkannya. TANPAMEMVERIFIKASI kebenarannya terlebih dahulu.
karakter seperti ini, adalah karakter orang-orang munafiq; sebagaimana firman Allåh:
وَإِذَا جَآءَهُمْ أَمْرُُ مِّنَ اْلأَمْنِ أَوْ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ
Dan apabila datang kepada mereka (orang munafiq) suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya.
(QS. an-Nisa’: 83)
Ibnu Katsir menafsirkan:
“(ayat tersebut) Adalah PENGINGKARAN terhadap orang yang BERSEGERA dalam berbagai urusan SEBELUM MEMASTIKAN KEBENARAN, lalu ia mengabarkannya, menyiarkannya, dan menyebarluaskannya, padahal terkadang perkara itu TIDAK BENAR.”
(lihat tafsir ibnu katsir)
Allah telah MENGINGATKAN kepada kaum muslimin agar TIDAK MENIRU-NIRU sifat KAUM MUNAFIQIN. apa sifat mereka?
Allah berfirman:
وَإِذَا جَآءَهُمْ أَمْرُُ مِّنَ اْلأَمْنِ أَوْ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya.
(QS. an-Nisa’: 83)
Ibnu Katsir menafsirkan:
“(ayat tersebut) Adalah PENGINGKARAN terhadap orang yang BERSEGERA dalam berbagai urusan SEBELUM MEMASTIKAN KEBENARAN, lalu ia mengabarkannya, menyiarkannya, dan menyebarluaskannya, padahal terkadang perkara itu TIDAK BENAR.”
[Tafsir Ibnu Katsir]
Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
‘Cukuplah seseorang disebut pendusta bila ia menyampaikan seluruh apa yang ia dengar.’
(HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلَاثًا
Sesungguhnya Allah meridhai kalian pada tiga perkara dan membenci kalian pada tiga pula.
(sampai pada bagian)
وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ
Dan Allah membenci kalian bila kalian suka (berkata) “qiila wa qaala” (katanya dan katanya)
(HR. Muslim)
Ibnu Katsir berkata:
Didalam kitab ash-Shahihain, dari al-Mughirah bin Syu’bah, bahwasanya Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam melarang untuk berkata:
قِيْلَ وَقَالَ
qiila wa qoola
(KATANYA dan KATANYA)
Yaitu orang yang BANYAK BICARA tentang perkataan orang lain,
- TANPA MENELITI KEBENARANNYA,
- TANPA MEMASTIKANNYA (terlebih dahulu)
- dan TANPA MENCARI KEJELASAN (tentang kebenarannya)
- TANPA MEMASTIKANNYA (terlebih dahulu)
- dan TANPA MENCARI KEJELASAN (tentang kebenarannya)
[Tafsir Ibnu Katsir]
Imam Malik –semoga Allah merahmati beliau- mengatakan,
”Ketahuilah, sesungguhnya seseorang tidak akan selamat jika dia menceritakan setiap yang didengarnya, dan dia tidak layak menjadi seorang imam (yang menjadi panutan, pen), sedangkan dia selalu menceritakan setiap yang didengarnya.
(Dinukil dari Muntahal Amani bi Fawa’id Mushtholahil Hadits lil Muhaddits Al Albani; dari rumaysho.com).
Imam Ibnu Hibban berkata dalam kitab adh- Dhu’afa’ (I/9):
“Di dalam hadits ini ada ancaman bagi se-seorang yang menyampaikan setiap apa yang dia dengar SEHINGGA IA TAHU dengan SEYAKIN-YAKINNYA bahwa hadits atau riwayat itu shahih.”
[Lihat Tamaamul Minnah fii Ta'liq 'alaa Fiqhis Sunnah hal. 33.]
Imam an-Nawawi pernah berkata:
“Bahwa tidak halal berhujjah bagi orang yang tidak mengerti hadits hingga ia tahu (akan keshahiihan hadits tersebut), dia harus bertanya kepada orang yang ahli.”
[Lihat Qawaaidut Tahdits min Fununi Musthalahil Hadits hal. 115 oleh Syaikh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, tahqiq dan ta'liq Muhammad Bahjah al-Baithar]
[Disalin dari kitab Ar-Rasaail Jilid-1, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
Maka hendaknya seseorang MEMFILTER dahulu informasi yang ia dapatkan (bukannya langsung percaya, atau bahkan langsung menyebarkan), sehingga ia dapat MENGETAHUI hal ihwal dari informasi tersebut
LARANGAN BERKATA ATAU BERBUAT HANYA MENGIKUTI PERASAAN/PRASANGKA SEMATA (tanpa ilmu dan tanpa bukti yang nyata)
Point ini serupa dengan point pertama (yakni larangan berkata/berbuat tanpa ilmu), maka dalam point ini LEBIH DISPESIFIKASIKAN lagi, yaitu larangan berkata/berbuat hanya berdasarkan prasangka semata, tanpaada ilmu dan bukti yang nyata.
Allah mengingatkan kaum muslimin dalam firmanNya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan ZHANN/prasangka, karena SEBAGIAN dari prasangka itu dosa
(al Hujuraat: 12)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata,
“Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman melarang hamba-hamba-Nya dari banyak persangkaan, yaitu menuduh dan menganggap khianat kepada keluarga, kerabat dan orang lain tidak pada tempatnya. Karena sebagian dari persangkaan itu adalah dosa yang murni, maka jauhilah kebanyakan dari persangkaan tersebut dalam rangka kehati-hatian.
Kami meriwayatkan dari Amirul Mukminin Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu beliau berkata,
‘Janganlah sekali-kali engkau berprasangka kecuali kebaikan terhadap satu kata yang keluar dari saudaramu yang mukmin, jika memang engkau dapati kemungkinan kebaikan pada kata tersebut’.”
(Tafsir Ibnu Katsir, 7/291)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ
Hati-hati kalian dari ZHANN (prasangka), karena ZHANN itu adalah UCAPAN yang PALING DUSTA.
(HR. ِAl-Bukhari no. 6066 dan Muslim no. 6482)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata menjelaskan ucapan Al-Khaththabi tentang zhan yang dilarang dalam hadits ini,
“Zhan yang diharamkan adalah zhan yang TERUS MENETAP pada diri seseorang, TERUS MENDIAMI HATInya, BUKAN zhan SEKEDAR TERBETIK DI HATI LALU HILANG, tanpa bersemayam di dalam hati. Karena zhan yang terakhir ini di luar kemampuan seseorang.
Sebagaimana yang telah lewat dalam hadits bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memaafkan umat ini dari apa yang terlintas di hatinya selama ia TIDAK MENGUCAPKANNYA atau ia bersengaja.”
[Lafadz hadits yang dimaksud adalah
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ تَجَاوَزَ لِأُمَّتِي عَنْ كُلِّ شَيْءٍ حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَكَلَّمْ بِهِ أَوْ تَعْمَلْ بِهِ
“Sesungguhnya Allah memaafkan bagi umatku apa yang terlintas di hati mereka SELAMA mereka TIDAK MEMBICARKAN atau TIDAK MELAKUKANNYA.”
(HR. Bukhari no. 2528 dan Muslim no. 327)]
(Al-Minhaj, 16/335)
Allah juga berfirman ketika mensifatkan KEBANYAKAN MANUSIA dimuka bumi ini:
إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti PERSANGKAAN belaka, dan mereka tidak lain hanyalah BERDUSTA.
(Al-An’aam: 116)
Berkata Imam Ibnu Katsir:
“Mereka hanyalah mengikuti PERSANGKAAN-PERSANGKAAN DUSTA dam TERKAAN-TERKAAN yang BAATHIL”
(Shahiiih Tafsir Ibnu Katsiir, III/407)
Allah berfirman tentang perkataan-perkataan orang musyrik:
وَمَا لَهُم بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
Dan mereka TIDAK MEMPUNYAI ILMU sedikitpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.
(An-Najm: 28)
Imam Ibnu Katsiir menafsirkan ayat diatas:
“Mereka tidak memiliki ILMU YANG SHAHIIH, yang membenarkan apa yang mereka katakan. Perkataan mereka tidak lain hanyalah merupakan KEDUSTAA, KEPALSUAN dan kekufuran.”
(Shahiiih Tafsir Ibnu Katsiir, VIII/607)
Juga dalam firmanNya yang lain:
إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنفُسُ
Mereka tidak lain hanyalah mengikuti PERSANGKAAN, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka
(an Najm: 23)
Imam Ibnu Katsiir menafsirkan ayat diatas:
“Artinya, Mereka TIDAK MEMILIKI SANDARAN APAPUN selain SANGKAAN, seperti apa yang dilakukan para pendahulu mereka yang melakukan kebathilan yang serupa…”
(Shahiiih Tafsir Ibnu Katsiir, VIII/607)
Juga dalam firmanNya mengenai KLAIM YAHUDI bahwa mereka telah membunuh ‘Isa:
مَا لَهُم بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا
Mereka TIDAK MEMPUNYAI ILMU kecuali hanya mengikuti PERSANGKAAN belaka, dan mereka TIDAK PULA YAKIN bahwa yang mereka bunuh itu adalah ‘Isa.
(An-Nisaa: 157)
Imam Ibnu Katsir menjelaskan:
“Yakni mereka TIDAK YAKIN bahwa yang mereka bunuh tersebut adalah ‘Isa ibn Maryam ‘alayhis salaam. Bahkan mereka RAGU dan BIMBANG”
(Shahiiih Tafsir Ibnu Katsiir, II/726)
Allah berfirman dalam membantah kedustaan yahudi tersebut dalam firmanNya:
قُلْ هَلْ عِندَكُم مِّنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا
Katakanlah: “Adakah kamu MEMPUNYAI ILMU, sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?”
إِن تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ
Kamu tidak mengikuti kecuali PERSANGKAAN belaka, dan kamu tidak lain hanyalah BERDUSTA.
(Al-An’aam: 148)
Imam Ibnu Katsiir menafsirkan ayat diatas:
“Zhann yang maksudkan disini adalah KEYAKINAN YANG RUSAK. Kalian BERDUSTA kepada Allah berkenaan dengan apa yang kalian SANGKA.”
(Shahiiih Tafsir Ibnu Katsiir, VIII/607)
LARANGAN MEMBICARAKAN SESUATU YANG KITA RAGU (BELUM YAKIN DENGAN SEYAKIN-YAKINNYA) AKAN KEBENARANNYA
Rasulullah bersabda:
مَنْ حَدَّثَ عَنِّيْ بِحَدِيْثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَيْنِ
‘Barangsiapa memberitakan dariku satu hadits, dan dia MENYANGKA bahwa itu dusta, maka dia termasuk salah satu dari para pendusta.’
(HR. Muslim)
kandungan hadits ini adalah “larangan untuk menyampaikan suatu hal dan apabila kita RAGU terhadap kebenarannya.”
(يُرَى) artinya (يُظَنُّ), yaitu “diperkirakan”.
Maka, perhatikanlah! Sekedar menyangka/mengira saja (sudah dianggap dusta)! Apalagi orang yang jahil (tidah tahu-menahu) terhadap hadits tersebut!
Orang yang berkata: “Saya belum yakin, apakah hadits ini shahih atau tidak shahih?”.
Hanya sekedar mengira-ngira saja, dan belum pasti dalam mengetahui apakah hadits tersebut shahih atau tidak shahih, hal ini telah memasukkan pelakunya ke dalam golongan orang-orang yang tertuduh berdusta atas Nabi.
Oleh karena itu, Al Imam Ibnu Hibban rahimahullah menyebutkan hadits ini dalam muqaddimah kitabnya Al Majruuhiin dan muqaddimah kitab Ash Shahih-nya, beliau berkata:
“Maka, orang yang ragu-ragu terhadap apa yang diriwayatkannya, sama seperti orang yang berdusta atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam”.
(Sumber: Salafiy Unpad)
Demikian halnya dalam menyikapi berita-berita yang menyangkut kaum muslimin, terlebih jika berita tersebut menyangkut KEHORMATAN KAUM MUSLIMIN, yang harus kita jaga. Terlebih lagi jika hal tersebut menyangkut ORANG-ORANG SHALIH dari kalangan kaum muslimin. Terlebih lagi jika hal tersebut menyangkut PARA ULAMA AHLUS-SUNNAH dari kalangan kaum muslimin!
LARANGAN GHIBAH TERHADAP KAUM MUSLIMINTANPA ALASAN YANG DIBENARKAN
dari Abu Hurairah ia berkata; Ditatanyakan kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, apakah ghibah itu?”
Beliau menjawab:
ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ
“Kamu menyebutkan tentang temanmu dengan sesuatu yang ia benci.”
Ia bertanya lagi, “Bagaimana sekiranya apa yang kukatakan memang benar?”
Beliau menjawab:
أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ بَهَتَّهُ
“Jika memang apa yang kamu katakan itu benar, maka sungguh kamu telah mengghibahnya, namun jika apa yang kamu katakan itu tidak benar, maka sungguh kamu telah mengadakan BUHTAN (menyebarkan berita dusta).”
(HR Tirmidziy, dan beliau berkata; Ini adalah hadits hasan shahih)
Dari Ummul mukminin ‘Aa-isyah radhiyallahu ‘anhaa bahwa beliau pernah berkata:
“Wahai Rasulullah, cukuplah menjadi bukti bagimu kalau ternyata Shafiyah itu memiliki sifat demikian dan demikian.” (Salah seorang periwayat hadits menjelaskan maksud ucapan ‘Aisyah bahwa Shafiyah itu orangnya pendek).
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ
“Sungguh engkau telah mengucapkan sebuah kalimat yang seandainya dicelupkan ke dalam lautan maka niscaya akan merubahnya.”
(Shahiih, HR. Abu Dawud; lihat shahiih al-jaami’)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَرْبَى الرِّبَا الاِسْتِطَالَةُ فِي عِرْضِ الْمُسْلِمِ بِغَيْرِ حَقٍّ
Sesungguhnya termasuk riba yang paling parah adalah mengulurkan lisan terhadap kehormatan seorang muslim tanpa (alasan) yang dibenarkan
[HR Abu Dawud IV/269 no 4876; Dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no 3950]
Berkata Syamsul Haq Al-‘Azhim Aabaadi,
أَرْبَى الرِّبَا “Yaitu riba yang paling besar bahayanya dan yang paling keras pengharamannya” , الاِسْتِطَالَةُ Yaitu mengulurkan lidah terhadap kehormatan seorang muslim, maksudnya yaitu merendahkannya dan merasa tinggi atasnya serta mengghibahnya, semisal menuduhnya berzina atau mencelanya. Hanyalah hal ini merupakan riba yang paling keras pengharamannya karena kehormatan merupakan perkara yang paling mulia bagi seseorang, lebih daripada harta”
[‘Aunul Ma’bud XIII/152]
Berkata Ibnul Atsir,
“Mengulurkan lisan pada harga diri manusia yaitu merendahkan mereka dan merasa tinggi dihadapan mereka serta menggibahi mereka”
[An-Nihayah fi Goribil Hadits III/145]
Berkata Al-Baidhowi,
“الاستطالة (Mengulurkan lisan) pada kehormatan seorang muslim yaitu dengan menjelekkannya lebih dari yang seharusnya sebagaimana perkataannya kepadanya[*], atau lebih dari yang rukhsoh yang diberikan[**].
Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkannya dengan riba dan memasukkannya dalam bagian riba, kemudian menjadikannya riba yang paling besar, karena hal ini lebih berbahaya dan kerusakannya lebih parah. Karena kehormatan (harga diri) -baik meurut syari’at ataupun menurut akal- adalah lebih mulia pada diri seseorang dibanding hartanya dan lebih besar bahayanya dari pada harta”
[Sebagaimana dinukil oleh Al-Munawi dalam Faidhul Qodiir II/531]
[*] Maksudnya jika ada seorang muslim yang mencelanya, (jika ia hendak membalas,) maka hendaknya ia membalas dengan balasan yang semisaltanpa menambah lebih dari itu, karena itu berarti ia seperti telah melakukan riba karena mengmbil lebih banyak daripada yang diterimanya.
[**] Yaitu syari’at memberi beberapa rukhsoh (keringanan) untuk melakukan ghibah atau untuk mencela harga diri seseorang, namun ini adalah merupakan keringanan yang keluar dari hukum asal. Maka tidaklah boleh bagi seseorang mengambil lebih dari batasan keringanan yang diizinkan oleh Syari’at.
[Artikel Ustadz Firanda, "Bahaya Menggunjing", yang disalin dari website beliau]
LARANGAN BERBUAT BUHTAN
dari Abu Hurairah ia berkata; Ditatanyakan kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, apakah ghibah itu?”
Beliau menjawab:
ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ
“Kamu menyebutkan tentang temanmu dengan sesuatu yang ia benci.”
Ia bertanya lagi, “Bagaimana sekiranya apa yang kukatakan memang benar?”
Beliau menjawab:
أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ بَهَتَّهُ
“Jika memang apa yang kamu katakan itu benar, maka sungguh kamu telah mengghibahnya, namun jika apa yang kamu katakan itu tidak benar, maka sungguh kamu telah mengadakan BUHTAN (menyebarkan berita dusta).”
(HR Tirmidziy, dan beliau berkata; Ini adalah hadits hasan shahih)
Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la’nat di dunia dan akhirat dan bagi mereka adzab yang besar
يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ . يَوْمَئِذٍ يُوَفِّيهِمُ اللهُ دِينَهُمُ الْحَقَّ وَيَعْلَمُونَ أَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ الْمُبِينُ
Pada hari (ketika) lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Pada hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka, bahwa Allah-lah Yang Benar, lagi Yang Menjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya)”.
[An Nur 23-25]
Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيقِ
Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan fitnah kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar.
(Al-Buruj: 10)
PERINTAH UNTUK BERKATA BAIK ATAU DIAM
Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam”.
(HR. Bukhariy dan Muslim)
Berkata al Imam an Nawawiy:
Hadits yang disepakati keshahîhannya ini merupakan nash yang jelas. Hendaklah seseorang tidak berbicara kecuali jika perkataan itu merupakan kebaikan, yaitu yang nampak maslahatnya. Jika ia ragu-ragu tentang timbulnya maslahatnya, maka hendaklah ia tidak berbicara.
Imam asy-Syafi’i berkata:
“Jika seseorang menghendaki berbicara, maka sebelum berbicara hendaklah ia berfiikir; jika jelas nampak maslahatnya, maka ia berbicara; dan jika ragu-ragu, maka tidak berbicara sampai jelas maslahatnya”
[Al-Adzkâr, Imam an-Nawawi. Tahqîq dan Takhrîj: Syaikh Salim al-Hilâliy]
Imam Ibnu Rajab berkata tentang hadits diatas:
Dalam hadits ini Rasululloh memerintahkan untuk berkata yang baik dan tidak berbicara selainnya. Ini menunjukkan bahwa tidak ada disana suatu perkataan yang seimbang dari segi perintah untuk mengucapkannya atau diam darinya.
Bahkan adakalanya berupa kebaikan yang diperintahkan untuk diucapkan, dan adakalanya bukan suatu kebaikan sehingga diperintah untuk diamdarinya.
Maka tidaklah perkataan itu diperintahkan untuk selalu diucapkan, dan tidak juga diperintahkan untuk selalu diam. Tetapi wajib berkata yang baik dan diam dari perkataan yang jelek.
Ulama’ salaf banyak memuji sikap diam dari ucapan jelek, dan dari perkataan yang tidak perlu. Karena sikap diam itu sangat berat bagi jiwa. Sehingga banyak manusia yang tidak kuasa mengekang diri. Oleh karena itu, ulama’ salaf berusaha mengekang diri-diri mereka, dan bersungguh-sungguh untuk diam dari bicara hal-hal yang tidak perlu.
(Jami’ul Ulum wal Hikam 1/340, 346; Dikutip dari majalah Al-Furqon 2/II/1423H hal 19 – 20; dari blogvbaitullah)
Al-Imam Abdur Rouf Al-Manawi berkata dalam Faidhul Qodir 2/336,
“Bahaya ucapan lisan lebih dari dua puluh macam.”
Al-Imam Ibnu Qudamah menyebutkan dua belas bahaya ucapan lisan didalam kitab-nya Mukhtashar Minhajul Qosidin hal. 215 – 229. Di antaranya ucapan yang tidak perlu, membela kebathilan, umpatan dan celaan, gurauan yang dusta, menghina, membocorkan rahasia, ghibah, namimah, syirik ucapan dan pujian yang tidak pada tempatnya.
Kemudian beliau berkata:
“Barangsiapa yang mengamati bahaya-bahaya lisan ini akan mengetahuibahwa dia tidak akan selamat darinya bila membiarkan lisannyatanpakendali. Dari sinilah diketahui keangungan sabda Rasululloh,
مَنْ صَمَتَ نَجَا
Barangsiapa yang diam* maka dia akan selamat.”
-Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Jami’-nya 4/569/2501 dan Ahmad dalam Musnad-nya 2/159 dan dishahih-kan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Shohihah 2/72-
(Minhajul Qosidin hal. 215 – 229, Dikutip dari majalah Al-Furqon 2/II/1423H hal 19 – 20)
Diam yang selamat adalah diam yang dimana seseorang menahan lisannya dari hal-hal yang telah disebutkan Imam Ibnu Qudamah diatas, adapun orang yang diam pada hal yang ia diharuskan mengingkari sedangkan ia mampu dan memiliki kemampuan untuk melakukannya, maka diam seperti ini tidak dibenarkan.
Abu ‘Ali ad-Daqqâq rahimahullah (wafat 412 H) berkata:
“Orang yang berbicara dengan kebatilan adalah setan yang berbicara, sedangkan orang yang diam dari kebenaran adalah setan yang bisu.”
[Disebutkan oleh Ibnul-Qayyim dalam ad-Dâ` wad-Dawâ`]
Sufyan ats-Atsauri Rahimahullah berkata:
“Ibadah yang pertama kali adalah diam, kemudian menuntut ilmu, mengamalkan, menghafal dan menyampaikannya.”
[Raudhat al-‘Uqala’ wa nazhat l-Fudlala’, Ibnu Hibban hal. 43]
Abu Hatim Muhammad bin Hibban Rahimahullah berkata:
“Yang harus dilakukan bagi orang yang berakal adalah diam sampai ada hal yang harus dibicarakan. Betapa banyak orang yang menyesal ketika berbicara, dan betapa sedikit orang yang menyesal ketika diam. Orang yang paling lama kesedihannya dan orang yang paling besar ujiannya, adalah orang yang diuji dengan lisan yang banyak bicara dan kurang bermanfaat.”
[Raudhat al-‘Uqala’ wa nazhat l-Fudlala’, Ibnu Hibban hal. 43]
DIANTARA KEBAIKAN ISLAM SESEORANG ADALAH SEDIKITNYA PEMBICARAAN YANG TIDAK BERMANFAAT BAGINYA
Råsulullåh shållallåhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ حُسْنِ إِسْلامِ الْمَرْءِ قِلَّةَ الْكَلامِ فِيمَا لا يَعْنِيهِ
“Sesungguhnya merupakan kebaikan Islam seseorang adalah sedikitnya bicara hal-hal yang yang tidak bermanfaat baginya”
[Hasan lighåyrihi, Diriwayatkan oleh Ahmad 1/210 serta Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir (no. 2886) dan Ash-Shaghiir 2/1]
Telah berkata Muwarriq Al-‘Ijilliy :
“Ada sesuatu yang aku cari yang sudah sekian tidak aku temukan. Namun aku tidak putus asa untuk selalu mencarinya”. Orang-orang bertanya : “Apakah itu ?”. Ia (Al-Muwarriq) menjawab : “Menahan diri dari apa saja yang tidak bermanfaat bagiku”.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abid-Dun-yaa)
Abu ‘Ubaidah meriwayatkan dari Al-Hasan, ia berkata :
“Di antara bukti bahwa Allah ta’ala berpaling dari seorang hamba adalah Dia akan menyibukkan orang tersebut dalam hal yang tidak bermanfaat baginya”.
Telah berkata Sahl bin ‘Abdillah At-Tusturiy :
“Barangsiapa yang berkata-kata dalam hal yang tidak bermanfaat baginya, niscaya ia akan terhalang dari kebenaran”
Ma’ruuf berkata :
“Perkataan seorang hamba dalam hal yang tidak bermanfaat baginya merupakan penghinaan dari Allah ‘azza wa jalla (pada dirinya)”.
[Semua hadits dan atsar dalam point ini dicopas dari blog Abul Jauzaa']
Tidak ada komentar:
Posting Komentar